1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pelaksanaan pembangunan fisik dibidang jasa konstruksi cukup banyak melibatkan
sumber-sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam berupa bahan
bangunan, sumber daya tenaga dan energi peralatan, mekanikal dan elektrikal, serta
sumber daya keuangan.
Namun demikian, pada setiap tahapan-tahapan pekerjaan tersebut, adakalanya mengalami
hambatan, baik dari faktor manusia maupun sumber-sumber daya yang lain. Hambatan-
hambatan sekecil apapun harus diselesaikan dengan baik untuk mencegah kerugian yang lebih
besar, baik dari pelaksanaan waktu pekerjaan maupun operasional bangunan kelak.
Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur yang disertai
dengan kemajuan teknologi konstruksi, terdapat peningkatan potensi timbulnya perbedaan
pemahaman, perselisihan pendapat, maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat
dalam kontrak konstruksi. Hal ini seringkali tidak dapat dihindari namun tidak dapat dibiarkan
berlarut- larut. Perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi
perlu diselesaikan sejak dini secara memuaskan bagi semua pihak. Jika dibiarkan,
perselisihan akan bertambah buruk menjadi persengketaan dan berakibat pada penurunan
kinerja pelaksanaan konstruksi secara keseluruhan,
1.2. Permasalahan
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan yang sangat luas itu merupakan bagian dari kebutuhan
manusia. Akan tetapi dengan keterbatasan yang dimiliki manusia itu sendiri, mereka hanya
mampu untuk menampung beberapa cabang keilmuan saja. Oleh karenanya wajar apabila
setiap pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang yang profesional, wajib didukung
dengan pengetahuan yang cukup untuk melengkapi keilmuan yang dimiliki.
Sengketa jasa konstruksi diakibatkan oleh beberapa hal : adanya faktor ketidakpastian dalam
setiap proyek konstruksi, masalah yang berhubungan dengan kontrak kontruki dan pelaku
dari pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi.
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk membahas lebih jauh tentang sengketa jasa konstruksi yang sering terjadi, sehingga diharapkan profesional teknik yang bekerja dibidangnya dapat mengantisipasti kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, khususnya pekerjaan- pekerjaan yang bersentuhan dengan hukum.
1.4. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang ditulis dalam materi ini dibatasi pada sengketa jasa konstruksi yang terjadi dalam proyek skala kecil dan menengah, dan lingkup proyek dalam negri, dan ditekankan hanya pada sengketa pelaksanaan konstruksi.
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
2.1. Jasa Konstruksi Menurut
Undang-undang tentang Jasa konstruksi, "Jasa Konstruksi" adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan jasa konstruksi baru diterbitkan Pemerintah Indonesia melalui Undang- undang Nomor 18 Tahun 1999 beserta Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29 dan 30 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan lain baik di tingkat pusat maupun daerah. Asas dan tujuan pengaturan jasa konstruksi sesuai Undang-undang nomor 18 tahun 1999 adalah asas kejujuran, asas keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, asas keamanan dan asas keselamatan.
Jenis usaha konstruksi berdasarkan PP nomor 28 tahun 2000 :
a. Perencanaan konstruksi meliputi survey, perencanaan umum, studi makro dan mikro, studi kelayakan proyek, industri dan produksi, perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan serta penelitian,
b. Pelaksanaan konstruksi meliputi : lingkup jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara strategis (berupa rancang bangun, perencanaan, pengadaan dan pelaksanaan terima jadi),
c. Pengawasan konstruksi meliputi : layanan pengawasan dan jasa konstruksi pengawasan, pekerjaan konstruksi, pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dan proses perusahaan dari hasil pekerjaan konstruksi.
Sengketa jasa konstruksi dapat saja terjadi pada tingkat perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, juga pada tingkat perngawasan konstruksi itu sendiri. Oleh karena begitu luasnya sengketa yang ada, maka penulis membatasi sengketa yang terjadi hanya pada tingkat pelaksanaan konstruksi dengan alasan bahwa pada tingkat ini merupakan bagian pekerjaan konstruksi yang melibatkan sumber daya yang besar, diketahui atau berlokasi didaerah umum (publik), dan pekerjaan pelaksanaan konstruksi saat itu sedang berlangsung.
2.2. Sengketa Konstruksi
Sengketa jasa konstruksi terdiri dari :
a. Sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar ( Precontractual)
b. Sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi (contractuai)
c. Sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.(pascacontractual)
2.3. Sengketa Contractual
Sengketa ini terjadi pada saat pekerjaan pelaksanaan sedang berlangsung. Artinya tahapan kontraktual sudah selesai, disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di 4 lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bertek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap).
Sumber timbulnya sengketa, menurut Hamid Shahab (2000), terdapat beberapa kasus antara lain :
a. Rasa saling percaya yang begitu besar antara pengguna jasa dan penyedia jasa, sehingga sering menimbulkan keinginan untuk segera memulai pekerjaan pelaksanaan proyek, sebelum dokumenn pelaksanaan (kontrak) selesai diproses. Menurut penulis, maksudnya adalah penyedia jasa memulai pekerjaan cukup hanya berbekal SPMK (Surat Perintah Memulai Pekerjaan) dari Pemimpin/Bagian Proyek. Kadangkala bahkan ada yang lebih kronis lagi, yaitu tanpa berbekal apapun asalkan yang bersangkutan sudah dinyatakan lolos seleksi (tender) “pemenang” lelang tersebut sudah memulai pekerjaan di lapangan dengan alasan memburu waktu (yang biasanya skala waktu suatu proyek kecil dan menengah memang singkat), walaupun tanpa dibekali uraian pekerjaan yang diperjanjikan atau dipercayakan.
b. Perjanjian (kontrak) kerja dan dokumen konstruksi yang bersifat umumlah digunakan pedoman/dasar memulai pekerjaan, padahal ada detail dokumen yang lain yang seharusnya menjadi pedoman pelaksanaan, belum selesai dibuat
c. Proses pekerjaan pelaksanaan sudah dimulai tanpa pola urutan proses kerja, program waktu serta garis kritis yang akan mempengaruhi target akhir.
d. Di tengah perjalanan pekerjaan konstruksi, kadangkala pengguna jasa sebagai pemilik proyek melakukan kebijaksanaan dengan alasan untuk menghemat biaya.
e. Adakalanya pengguna jasa sebagai pemilik proyek mempercayakan manajemen proyek kepada satu tangan dengan tanggung jawab penuh dan target waktu dan biaya yang ketat dalam batas tertentu, akan tetapi dalam pelaksanaannya pengguna jasa terlalu banyak mencampuri koordinasi dan manajemen proyek sehingga urutan pekerjaan dan pola penanganan proyek menjadi kacau sehingga sulit dipertanggungjawabkan dari kualitas, kuantitas, maupun target waktu dan biaya. Padahal proses tender/penunjukan sudah dilaksanakan sesuai ketentuan.
f. Fungsi manajemen konstruksi yang jelas diperlukan pada proyek kecil sampai proyek besar, tidak jelas diserahkan kepada siapa :
1) Apakah kepada Tim Manajemen Konstruksi (MK), atau
2) Apakah kepada Kontraktor Utama, atau
3) Salah satu kontraktor yang terlibat pada proyek, atau
4) Dipegang sendiri oleh Pengguna Jasa atau Pemilik Proyek.
g. Belum adanya pengaturan mengenai tidak terpenuhinya target waktu atau target finansial.
Kasus-kasus sebagai penyebab sengketa tersebut di atas merupakan kasus-kasus yang sering terjadi di lapangan. Apabila ditambah dengan kasus-kasus yang lebih kecil, jumlahnya cukup banyak. Semua kasus-kasus di atas dapat diatasi, besar kemungkinan kasus-kasus kecil juga akan teratasi.
2.4. Penyelesaian Sengketa jasa konstruksi
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, diarahkan pada penyelesaian di luar pengadilan dan bermuara pada penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian. Penyelesaian sengketa Contractual, dapat melalui jalur-jalur sebagai berikut :
1). Jalur Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut. Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan, apalagi apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan kelancaran proyek
2). Jalur Negosiasi
Negosisi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan. Dari literatur hukum dapat diketahui, selain sebagai lembaga penyelesaian sengketa, juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal.
3). Jalur Mediasi
Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak ketiga (baik perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral, yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa. Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara. Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa.
4). Jalur Perdamaian
Jalur perdamaian merupakan atau langkah awal sebelum sidang pengadilan dilaksanakan, dan ketentuan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, juga merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan mengecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5). Jalur Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Arbitrase adalah bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan atau sengketa yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian pokok, akan tetapi juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian.
Penyelesaian sengkera jasa konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi pada saat berlangsungnya pelaksanaan proyek dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I) Penyelesaian sengketa dengan Site Meeting (Rapat-rapat Lapangan) yang dilaksanalan 2 (dua) minggu sekali. Rapat ini dihadiri oleh pengguna jasa, penyedia jasa, dan wakil pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah - instansi teknis). Kesepakatan yang dihasilkan dalam site meeting ini dibuatkan Berita Acara Rapat Lapangan yang ditandatangani pihak-pihak yang terlibat/hadir, mengikat semua pihak, serta masuk dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan.
2). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan setelah penyerahan ke II) Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap pekerjaan konstruksi sampai dengan penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan (2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan dimanfaatkan hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
3). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pengadilan yang dimaksud adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan, manakala upaya yang ada belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat bahwa upaya pengadilan ini meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili para pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang bersangkutan – yang biasanya sudah dicantumkan dalam kontrak kerja).
2.5. Tanggung Jawab Pelaku Jasa Konstruksi secara Perdata dan Pidana
a. Tanggung Jawab secara Perdata
Tanggung jawab secara perdata pelaku jasa konstruksi dapat dilihat dari perikatan yang terjadi antara Pengguna Jasa (pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Konsultan atau Kontraktor). Perikatan yang berbentuk kontrak kerja konstruksi tersebut terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233, yaitu bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, dan atau karena undang-undang. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut. Semua hak dan kewajiban pelaksanaan jasa konstruksi tersebut telah tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.
b. Tanggung Jawab secara Pidana
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 membuka peluang sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi, Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat yang menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa. Pada pinsipnya barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan beroperasi), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak.
3. KESIMPULAN & SARAN
3.1. Kesimpulan
a. Sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada masa precontractual, masa contractual, dan masa pascacontractual.
b. Pada masa contractual, dapat saja terjadi sengketa pada saat Perencanaan Konstruksi, Pelaksanaan Konstruksi, dan Pengawasan Konstruksi.
c. Alternatif penyelesain sengketa jasa konstruksi dilakukan melalui jalur konsultasi, negosisi, mediasi, konsiliasi, pendapat hukum oleh lembaga arbitrase, atau gabungan kelima jalur tersebut sesuai tingkat kebutuhan
. 3.2. Saran
a. Sengketa precontractual dan sengketa pascacontractual masih belum dibahas dalam tulisan ini.
b. Dengan telah diberlakukannya UU tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa konstruksi, serta Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan jasa konstruksi, diharapkan para profesional teknik pada lingkup perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek konstruksi mampu mengantisipasi kondisi ini dengan baik.